ULAMA, DIMANAKAH ENGKAU BERADA ?

 

Assalaamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakatuh

Suatu malam sesaat setelah mendapatkan kabar wafatnya ulama kharismatik Kota Tegal, Al Habib Thohir bin Abdullah Al Kaff, aku melihat sebuah status di akun Whatsapp  saudara sepupu yang berisi tulisan yang sederhana tapi sangat menyentuh : “BIASANYA BERSLIWERAN FOTO MASYAYIH BESERTA QUOTE DAWUHNYA. TAHUN INI BERSLIWERAN FOTO MASYAYIH BESERTA LAFAZ ISTIRJA *) ”

*) Istirja : innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji’uun

Ya. Di masa pandemi covid-19 yang dirasakan hampir seluruh negara di dunia ini, khusus di Indonesia sudah ratusan ustadz dan kyai kharismatik Nahdlatul Ulama telah kembali ke haribaan-Nya. Suasana sedih dan duka menyelimuti kita sebagai umat islam pada umumnya terutama nahdliyyin. Bagaimana tidak? Bagi Nahdlatul Ulama, sosok ulama adalah soko guru yang keberadaannya sangat strategis. Merekalah yang menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi pengayom bagi yang membutuhkan ketenangan dan menjadi guru bagi yang membutuhkan bimbingan rukhaniyah.

Hampir setiap hari berita wafatnya ulama kita terima melalui media sosial seperti whatsapp, instagram, facebook maupun yang lain. Walaupun berduka namun persaksian dari elemen masyarakat tentang baiknya kepribadian ulama kita (nahdliyyin) dan pengakuan terhadap sumbangsih mereka dalam mengawal kehidupan keberagamaan masyarakat sudah cukup menghadirkan husnudzon bahwa Allah SWT akan memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.

Bagi seorang santri mungkin tidak terlalu sulit mendapatkan sosok pengganti beliau yang telah dipanggil oleh Allah SWT karena kaderisasi ulama di Pondok Pesantren sudah terbukti sangat baik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua santri mampu menjadi sosok yang dikenal kealimannya. Banyak dari mereka setelah “rampung” mondok menjadi warga biasa karena belum tergerak untuk mentransfer ilmu yang didapatkan kepada masyarakat sekitarnya. Ilmu agama yang Allah titipkan kepada mereka masih terbatas penggunaannya untuk mengawal aktifitas ibadah pribadi.

Kemudahan akses informasi yang ada sekarang memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan ilmu (terutama ilmu agama) secara instan. Syarat mencari ilmu yang baik yaitu kesabaran, kecerdasan, kemauan, petunjuk atau bimbingan guru, biaya yang cukup, dan waktu atau tempo yang lama sebagaimana disampaikan oleh Imam Syafi'i seakan



Sumber gambar : Kompasiana

telah terabaikan. “Yang penting pertanyaan saya tentang hal-hal berkaitan dengan agama terjawab”, mungkin itulah prinsip utama yang dipegang oleh sebagian besar masyarakat. Logika menjadi komponen utama pemahaman keagamaan sehingga seringkali mengambil kesimpulan hanya yang sesuai dengan keinginan nafsunya tanpa memandang apakah sanad keilmuan yang diterima tersambung kepada Baginda Nabi Muhammad SAW.

Lalu bagaimana cara para nahdliyyin untuk mencari sosok ulama yang dapat kita jadikan “gondelan” dalam meniti jalan menuju ridho Allah SWT?

KH Ahmad Shiddiq dalam Khittah Nahdliyyah menjelaskan secara ringkas kriteria ulama yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama. Menurut beliau, norma pokok ulama adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT. Adapun fungsi utama dari ulama, menurut beliau adalah mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW (al ‘ulamaa warotsatul anbiyaa). Untuk dapat melaksanakan fungsi utamanya, ulama haruslah dapat mewarisi ucapan, ilmu dan ajaran beliau, mewarisi perbuatan dan tingkah laku beliau serta mewarisi mental dan akhlaq beliau.

Bagi Nahdlatul Ulama, sanad keilmuan sangatlah penting. Mengenai sanad ilmu, Imam Abdullah bin Mubarak, salah satu murid Imam Malik berkata : “Sanad merupakan bagian dari agama, dan apabila tidak ada sanad maka orang akan seenaknya mengatakan apa yang ingin ia katakan”.

Imam Syafii berkata : “Yang mencari ilmu tanpa sanad, adalah bagaikan pencari kayu bakar di malam hari yang gelap dan membawa pengikat kayu bakar yang padanya ular berbisa yang mematikan dan ia tidak mengetahuinya”.

Dalam Khittah Nahdliyyah tersebut, KH Ahmad Shiddiq menyampaikan ada ciri-ciri utama yang terlihat dari ulama yaitu :

-          Tekun beribadah, yang wajib dan yang sunnah ;

-          Zuhud, melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi / duniawi ;

-          Memiliki ilmu akhirat, ilmu agama dalam kadar yang cukup ;

-          Mengerti kemaslahatan masyarakat, peka terhadap kepentingan umum ;

-   Mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah SWT, niat yang benar dalam berilmu dan beramal

 

 “Belajarlah kepada guru yang pernah belajar kepada guru”  (KH Marzuqi Mustamar)

 

Wallaahu a’lam

Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

Wassalaamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakatuh

 

Tegal, 22 Desember 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJIBKAH BERMADZHAB

KEUTAMAAN MAJELIS DZIKIR

DZIKRULLAH BIL LISAN